“Lupa hanya kata kiasan, manusia mengendalikan”
Langit gelap sore itu, ditemani dengan rintik hujan yang turun deras membasahi halaman rumah Aruna. Suara rintik hujan saling beradu dengan suara petikan gitar yang lembut. Aruna duduk di kursi tua dengan cat yang mulai mengelupas, sesekali Aruna memandang kosong teras rumahnya yang mulai basah karna hujan.
Jemari tangannya dengan tenang menyelesuri senar gitar, mengalunkan sebuah lagu milik The 1975 yang berjudul About you lagu tersebut tengah viral akhir-akhir ini pasalnya lagu yang sangat berhubungan dengan kehidupan para pendengarnya, termasuk Aruna.
Saat ia mulai melantukan bait pertama dari lagu tersebut, dengan suara lembut dan serak hampir tenggelam dengan suara hujan, Tapi Aruna terus saja bernyanyi tidak peduli dengan suara rintik hujan yang semakin deras.
“Do you think i have forgetten?”
Nada itu terhenti sejenak, Aruna tiba-tiba saja menitihkan air matanya. Lirik ini membuatnya memikirkan satu nama yang selalu Aruna ingin lupakan.
Namanya Viko dia seorang adek kelas yang sedang Aruna kagumi sejak dia berumur 13 tahun, saat itu Aruna masih kelas 8 Sekolah menengah pertama hingga saat ini.
Aruna melanjutkan nyanyian, tapi kali ini dengan suara lirih, Aruna berusaha menepis pikirannya yang dipenuhi kenangan tentang Viko terus berputar-putar di kepala Aruna seolah seperti kaset rusak. Aruna teringat ketika Viko dengan suara rendahnya.
“Kak kamu bawa bolpoin berapa? tiba-tiba saja bolpoin aku habis kak” Seketika Aruna tersenyum ketika mengingat momen tersebut, itulah kesempatan yang Aruna punya kala itu untuk lebih dekat dengan pujaan hatinya.
“It’s somewhere i go when i need to remember your face” suaranya bergetar pada bagian itu, Aruna berhenti memetik gitar. Tangannya menggantung di udara, gemetar, sebelum akhirnya ia memegang wajahnya yang basah oleh air matanya yang terus mengalir. Langit semakin gelap, seolah memahami suasana hatinya yang bersedih. Kenangan akan Viko tak selamanya hilang dari ingatannya benar-benar tak menghilang seolah ingin menetap dalam ingatannya.
Aruna berhenti memetik gitar, tangannya mengantung di udara, gemetar, sebelum akhirnya yang mulai basah oleh air matanya yang terus mengalir. Langit semakin gelap seolah mengerti keadaanya yang sedang bersedih, kenangan akan Viko tak pernah sepenuhnya menghilang dari pikiranya. Aruna menatap ujung jemarinya yang mulai kaku karena dingin, tapi bukan itu yang membuat hatinya terasa berat. Akan tetapi dia teringat tentang dulu Viko yang sering meminjam barang darinya, dengan wajah santai tapi penuh perhatian. “Kak, kok kamu diam saja? lagi mikirin apa sih?” suara Viko terdengar jelas dan nyata dalam kepalanya. Cara bicaranya yang lembut dan rendah itu membuat Aruna kembali ke masa lalu. Aruna menghela nafas panjang, mengusir bayang-bayang Viko yang mulai mengusik pikiran
Namun seperti bagian lirik yang baru saja ia nyanyikan, bahwa wajah Viko begitu lekat dalam ingatannya. Bagaimana mungkin dia bisa melupakan seseorang yang diam-diam mengisi kekosongan hatinya yang telah lama hilang.
Dengan sedikit gemetaran, Aruna kembali memetik gitarnya kali ini suaranya lebih keras dari sebelumnya seolah menyalurkan semua emosinya dan lebih menyakitkan
“Do you think i have forgetten?”
“Do you think i have forgetten?”
“Do you think i have forgetten? About you,”
Namun, tiba-tiba saja suara rendah dan lembut yang sangat ia kenal, seolah hadir dalam suara gemeruh hujan, mengusik nyanyiannya.
“Lupa hanya kata kiasan, kak, manusia yang mengendalikan pikirannya,” Seketika Aruna terdiam, jemarinya yang tadinya sibuk di atas senar kini berhenti, menggantung kaku. Kata-kata itu dan kalimat yang begitu nyata, seolah Viko ada di sisinya.
“Viko?” bisiknya nyaris tak terdengar, diringi bunyi hujan yang tak kunjung reda. Ia menoleh kearah luar teras berharap keajaiban, meski ia tahu bahwa itu adalah suaranya sendiri. Namun, entah mengapa ada sesuatu di udara yang membuatnya yakin Viko sedang berbicara padanya.
Ingatan itu kembali menyeruak, hari di mana Viko sedang berbicara padanya dengan santainya dia berkata demikian, melihat Aruna yang terlihat murung karena tugas yang sudah ia kerjakan dengan sebaik-baiknya ternyata hilang.
“Lupa hanya kata kiasan kak,” ulang Viko kala itu sambil tersenyum tipis, suara seperti angin yang menenangkan. “Kita sendiri untuk tetap menyimpan atau melepaskan,” Aruna mengingat senyuman itu, senyuman yang saat itu terasa sederhana, namun kini begitu berat untuk dikenang.
Dengan gemetar, Aruna memegang gitar lebih erat. Ia ingin menyangkalnya, tapi kata-kata itu benar adanya. Dirinya sendiri untuk memilih antara mengingat atau melepaskan. Viko telah lama hilang dari hidupnya, Namun, Aruna masih merindukan semua tentangnya dari cara dia berbicara, caranya melihat dunia, kebiasaannya, semuanya masih tersusun rapi dalam ingatannya bagaimana mungkin dia akan melupakan seseorang yang sangat berarti baginya.
Hari demi hari berlalu, tapi kenangan tentang Viko terus mengisi pikiranya. Tiap kali hujan turun kenangan tentang Viko terus berputar-putar dalam kepalanya, entah mengapa begitu lekat dalam hatinya. Bukan hal besar, hanya sebatas saling sapa, percakapan singkat atau tatapan sekilas yang membuatnya bertahan dalam ingatannya.
Namun, Aruna tak harus terus terjebak oleh masa lalu lagi dan lagi, dia harus bangkit dan melupakan Viko meskipun itu sulit bagi dirinya. Hidupnya terus berjalan tidak mungkin dia terus menerus terjebak bayangan masa lalu.
Suatu sore, Aruna memutuskan untuk pergi ke taman dekat rumahnya, ia membawa gitar dan note book . Ia mencoba menulis sebuah lagu, bukan untuk mengenang Viko tapi untuk melepaskannya.
Saat jemarinya mulai memetik senar gitar, Aruna mencoba menuang isi hatinya dalam lirik coba ia buat, Bagaimana ia menyimpan semua rasa kagumnya dan bagaimana sulitnya melupakan. Namun, bair pertama ia mencoba menyisipkan sebuah pesan singkat kepada dirinya.
“Meski tak bisa hilang, aku bisa berdamai. Kau ada di masa lalu, bukan di masa depan.”
Aruna berhenti sejenak setelah menuliskan itu. Ia tersenyum kecil, merasakan beban yang sedikit berkurang. Ia sadar, melupakan bukanlah tujuannya. Yang ia butuhkan adalah menerima bahwa Viko adalah bagian dari perjalanan hidupnya sebuah kenangan indah yang mengajarkannya tentang rasa, harapan, dan kehilangan.
Seiring berjalannya waktu, Aruna mulai membuka hati untuk hal-hal baru. Ia mencoba bertemu orang-orang baru, mengikuti kegiatan yang ia suka, dan fokus pada mimpinya. Sesekali, ingatan tentang Viko masih muncul, terutama saat ia mendengar lagu tertentu atau melihat hujan. Namun, kini ingatan itu tidak lagi menyakitkan, melainkan menjadi pengingat bahwa pernah ada masa di mana hatinya dipenuhi dengan harapan dan cinta.
Pada akhirnya, Aruna berhasil melangkah maju. Move on bukan berarti melupakan sepenuhnya, melainkan menerima dan melanjutkan hidup. Dan itulah yang kini ia lakukan melangkah dengan hati yang lebih ringan, meninggalkan jejak kenangan tanpa lagi merasa terjebak di dalamnya.
Tamat