Cerpen : Kedua Kalinya…

“”Bagi siapapun yang percaya, cinta adalah sebuah marifat yang tak akan pernah terukur oleh akal pikiran manusia””

 

Aku harus bisa mengontrol setiap kecepatan emosi yang akan kukeluarkan. Aku tak boleh lemah karena sebuah masa lalu. Apalagi untuk seseorang yang bernama Fitri. Aku juga harus menganggapnya tak lebih dari sekedar teman biasa. Bagiku, ia hanya setumpuk kisah masa lalu yang harus kubungkus rapat-rapat. Tak boleh ada sedikitpun celah yang menjadi ventilasi antara perasaanku dan perasaannya. Karena sekarang, ia sudah berada pada posisi orang yang sangat mencintai dan dicintai oleh temanku sendiri.

Tiba-tiba handphone yang terselip diantara bantal dan kasurku berontak minta keluar.  Ya, sengaja Ku silent agar tidak ketahuan orang tuaku. Sejurus kemudian, kubaca pesan singkat itu.

“ Sore Juna, bisa ke rumahku, nggak? Aku butuh bantuan untuk mengerjakan soal-soal Fisika. Thanks, by Fitri”.

Aku tak langsung membalas pesan singkat itu. Aku berpikir sejenak. Jika aku mengiyakan pesan itu, usahaku akan gagal untuk melupakan dia. Memang, dia adalah cinta pertamaku dan aku akan sangat senang bisa membantunya. Namun sekarang ia sudah jadian dengan Bondan, teman baikku. Aku takut jika harus mengulang perasaanku yang dulu pada Fitri.

Handphoneku kembali bergetar. Dan lagi-lagi pesan singkat dari dia. Kali ini ia memaksaku dengan sejumlah alasan untuk membantunya. Karena sudah tak kuasa menolak, akhirnya aku mengiyakan permohonannya.

# # #

Sejumlah buku tiba-tiba Fitri letakkan di atas meja depanku. Malam itu, di rumahnya dengan sedikit agak canggung, kubantu dia mengerjakan soal demi soal. Dalam membantunya aku tak berani sedikitpun untuk mencuri pandang padanya. Saat ia menghujani dengan beberapa pertanyaan, mataku terus saja menitik beratkan pada buku yang tergeletak di meja.

“ Jun, kenapa, kok gugup gitu? Biasa aja kali!” ujarnya yang seolah menohokku.

Aku terpojok. Namun aku harus menjawab.

“ Nggak a…pa-apa kok.” Jawabku gugup.

Mungkin penasaran dengan tingkahku, tiba-tiba Fitri mengambil buku yang sedari tadi menjadi pusat perhatianku. Ia mengangkat buku itu ke atas kepalanya. Dan secara spontan, mataku mengikuti arah buku itu.

Dan yang terjadi, terjadilah.

Ku lihat sosok Fitri yang begitu anggun. Dua bolan matanya yang bersinar dan bibirnya yang mengulum tipis, membuatku bergidik. Mata ini ingin saja berkedip saat menatapnya, namun apalah daya, sekujur tubuhku kaku tak berdaya dibuatnya.

“ Nah, kalau gini kan lebih enak. Nggak pakai acara malu-maluan segala.” Ujar Fitri kepadaku sambil menyimpulkan senyumnya.

Kubalas senyum itu dengan susah payah kukumpulkan keberanian untuk menatapnya. Tiba-tiba secara tak kusadari, ada segerombolan perasaan mengalir  masuk ke hatiku. Aliran yang beberapa waktu lalu mati, namun agaknya akan hidup kembali. Dan inilah perasaan yang sangat aku takutkan.

Jantungku berdegup sangat kencang. Aku ingat betapa dulu aku sangat mencintainya.. Namun memang, aku tak pernah menyatakan perasaanku padanya. Sampai pada akhirnya, ku dengar kabar bahwa dia sudah jadian dengan Bondan. Kabar itu membuat hatiku hancur berkeping-keping. Bagaimana tidak, sehari sebelumnya aku sudah berencana menyatakan perasaanku padanya. Namun hari itu juga semuanya gagal. Aku tak boleh menyalahkan Bondan ataupun Fitri. Bondan adalah temanku yang paling baik, sedang Fitri tak pernah tahu perasaanku. Ia dulu hanya gadis polos yang selalu memberi banyak kebaikan pada semua orang yang berada di sekelilingnya. Saat itu, aku hanya bisa membodoh-bodohi  diriku sendiri.

“ Juna kok diem?” ujar Fitri kembali seraya meletakkan buku yang diangkatnya tadi.

Seolah tak peduli dengan kata-kata itu, mataku terus saja menatapnya dengan penuh hikmat. Dan ku rasa, hukum gravitasi yang dirumuskan oleh Newton tak berlaku di tempatku duduk. Tubuhku seakan tak mempunyai berat ataupun massa saat menatapnya.

Tidak lama, Ibu Fitri keluar dari balik pintu. Ia menyuguhkan segelas teh dan beberapa kue.

Aku ingin saja mengambil teh dan kue itu, namun mekanisme darah di tanganku seolah berhenti. Tak mengizinkanku mengambilnya.

Pandanganku redup. Aku teringat akan kata-kata Bondan beberapa waktu lalu, bahwa ia sangat mencintai Fitri. Dan kala itu aku berkata padanya bahwa Shara juga akan melakukan hal yang sama. Sebagai seorang teman, aku merasa telah berdusta. Aku telah berkhianat.

# # #

Agaknya benar kata Yudi, “cinta pertama adalah yang utama. Menurutnya, sehebat apapun kau berikan tekanan pada hatimu untuk melupakannya, cinta pertama akan berbanding lurus dengan melengserkan tekanan itu”.

Temanku yang satu ini memang sungguh mistis. Ia sering mengeluarkan teori-teori unik yang sulit kupahami. Padahal, bila dilihat dari cara pendeklamasiannya untuk mempromosikan teori-teorinya di sekolah, ia tak ada pantas-pantasnya menjadi seorang ilmuan.

Namun memang, sejak kejadian di rumah Fitri, sudah beberapa kali ini aku membantunya belajar. Perasaanku yang semula gugup untuk berhadapan langsung dengannya, berubah menjadi rasa yang sulit kuterjemahkan ke dalam kata-kata. Dia pun menganggap semua yang kulakukan adalah hal yang biasa saja. Hanya sebatas teman belajar, tak lebih. Di sisi lain, Bondan seolah mengizinkanku mendekati Fitri. Dia bukannya tidak peduli dengannya, namun ia sendiri sedang disibukkan dengan karya tulisnya sebagai tugas akhir semesternya.

Beberapa malam, tidurku tak mencapai tingkat kepuasan. Aku membayangkan bahwa Fitri telah kembali menjadi cinta pertamaku saat ini seutuhnya. Terlebih, seakan aku menggantikan posisi Bondan. Dan di malam ini, Izroil seakan tengah mengambil separuh nyawaku. Sungguh, untuk kali ini aku tak bisa mengelak lagi. Aku benar-benar masih mencintainya.

Hatiku berdebat antara khianat dan sahabat. Pikiranku tenggelam ke dalam sekat-sekat kebimbangan. Apa yang harus kupertanggungjawabkan pada Bondan tentang perasaanku pada Fitri? Aku ingat betul Bondan selalu membantuku disaat sesulit apapun. Aku tahu segala sifatnya. Sedari kecil dari mulai mengenal huruf alif dan ba sampai ngaji ngabsahi kitab. Aku tak lepas dari kebaikannya. Namun, aku sudah lelah dan rapuh untuk memendam perasaan yang sudah mencapai titik klimaks ini.

Dengan separuh nyawa yang masih disisakan, ku kumpulkan energi-energi di sekelilingku untuk menegakkan hati. Kemudian aku ingat sebuah kalimat yang pernah dicetuskan oleh temanku yang penuh mistis itu.

“ meski kuat, cinta bisa saja berpendar jika ia menerima hantaran rasa yang tulus dari hati dengan ion-ion positif, meski pada akhirnya berpendarnya rasa itu akan brmuatan negatif.”

# # #

Malam ini aku tak belajar di rumah Fitri, melainkan sudah kuputuskan untuk mengutarakan perasaanku padanya. Dengan mantap, segala risiko pun akan kutanggung.

Sebelum kukatakan apa yang menjadi tujuanku, tiba-tiba terdengar seseorang mengetuk pintu dari luar rumah. Seraya berdiri dari kursi, dia pun perlahan membukakannya. Dan beberapa detik kemudian kulihat sosok yang sangat aku kenal : Bondan.

Fitri mempersilakan Bondan duduk di sebelahku. Kami pun berjabat tangan disertai saling senyum dan sapa. Untungnya, Bondan tidak mengetahui niatku. Meskipun begitu, pikiranku tetap saja berkecamuk. Tubuhku seakan terguncang gempa yang dahsyat. Takut kalau-kalau Bondan menanyaiku dengan hal-hal yang tak ku inginkan.

“ Oh ya, Jun. Aku lupa bilang padamu bahwa Bondan akan mengajakku jalan jika ia sudah selesai dengan karya tulisnya.

“ Gimana, mau ikut?” Timpal Bondan seraya tersenyum kepadaku.

“ Tidak, terima kasih,” Jawabku  datar dengan sedikit senyuman balas.

Aku menunduk dengan badan terkulai lemas. Tiap organ tubuhku ingin saja berdemo untuk menyuarakan rasa kekesalan, namun tak bisa. Seolah udara tengah berkompromi untuk menekan diriku.

Dengan alasan tak ingin mengganggu, aku pun berpamitan pada mereka berdua. Ku jabati tangan mereka dengan sedikit memburatkan senyum disertai rasa kekecewaan di hati terhadap nasib yang merundungku.

Aku melangkah keluar dari Rumahnya. Di ambang pintu, sempat kulirik mereka yang tak sadar telah mengiyakanku. Di depan rumahnya, kutengadahkan wajahku ke langit. Di sana, kulihat sinar rembulan yang sedang membiaskan spektrum-spektrumnya di wajahku untuk mengilhami atas tiap-tiap sesuatu. Kuingat teori mistis temanku yang menyatakan bahwa “terkadang imajinasiku menumbuhkan berbagai elemen-elemen kuantum tingkat tinggi yang berujung pada penyesalan dan harapan”.

Aku terdiam. Untuk ke dua kalinya hatiku hancur berantakan. Namun di sudut hatiku yang lain berontak pada apa yang harus ku katakana

“ Fitri sebenarnya aku sangat mencintaimu.” Bisikku lirih.

Tags:

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Scroll to Top