Hujan rintik-rintik jatuh di atas atap seng rumah kos Safira, menciptakan irama yang akrab di
telinganya. Ia duduk di depan meja kecil, memandang ke luar jendela yang berkabut,
menatap Jakarta yang tampak tidak terlalu ramai malam itu. Namun, meskipun kota ini tidak
pernah tidur, ada kesendirian yang terasa lebih dalam dari biasanya. Setiap tahun,
menjelang akhir Desember, Safira merasakan rasa kehilangan yang semakin membebani
dadanya.
Sudah 3 tahun lamanya sejak terakhir kali ia pulang ke kampung halaman di Semarang.
Tiga tahun yang terlewat tanpa kedatangan dirinya di tengah keluarga yang menunggu. Ada
rindu yang tak terungkap, namun ada juga luka yang selalu menghalangi langkahnya untuk
kembali.
Ia memandangi ponselnya yang tergeletak di meja, melihat notifikasi pesan dari Rena,
adiknya. Pesan yang selalu datang setiap tahun, menjelang Lebaran.
“Mba, apa nggak kangen pulang? Ibu sering menanyakan Mba akhir-akhir ini. Lebaran
sebentar lagi, pulanglah,”
Safira memandangi layar ponselnya dengan tatapan kosong, lalu ia membiarkan jemarinya
bergerak untuk mengetik balasan.
“Iya,Rena. Kerjaan masih banyak, nggak bisa pulang tahun ini.”
Balasan itu terasa begitu berat. Ia tahu Rena pasti kecewa, dan Ibu tentu lebih kecewa lagi.
Tetapi, meski perasaan itu menyiksa, Safira tidak bisa mengubah kenyataan yang ada.
Setiap kali ia mengingat kembali kenangan masa kecilnya, kenangan tentang Lebaran yang
selalu dipenuhi tawa, dan bagaimana perayaan itu berubah begitu mendalam setelah
kepergian Ayah, hatinya terasa terhimpit.
Dulu, Lebaran adalah saat yang paling dinantikan di rumah mereka. Safira, yang sejak kecil
jarang berbicara banyak, selalu menunggu momen-momen ketika seluruh keluarga sibuk
mempersiapkan hidangan. Ibu akan mulai memasak sejak beberapa hari sebelumnya,
dengan penuh semangat. Ketupat, opor ayam, sambel goreng hati, dan rendang yang selalu
menguar aroma sedapnya ke seluruh rumah. Ayah, yang selalu membawa cerita-cerita
menarik dari pasar, akan mengajak Safira dan Rena berbelanja bahan-bahan segar. Di
dapur, Rena dengan cerianya akan membantu Ibu menata meja makan, sementara Safira
yang lebih pendiam akan duduk di pojok ruang keluarga, membaca buku atau menonton
televisi.
Kehangatan itu terasa begitu nyata, dan untuk Safira, setiap detail dari Lebaran yang dulu
adalah bagian dari kenangan yang tak ingin ia lupakan. Namun, semua itu berubah begitu
mendalam ketika Ayah meninggal. Pada malam takbiran, saat suara takbir mengalun merdu,
Ayah terjatuh dengan tiba-tiba karena serangan jantung. Sejak saat itu, setiap kali
mendengar takbir, Safira hanya merasakan kesepian. Ia tak lagi merasakan kebahagiaan
yang dulu datang begitu alami. Lebaran bukan lagi tentang ketupat dan opor ayam, tetapi
tentang kehilangan dan kenangan yang tak bisa ia lupakan.
Malam itu, menjelang hari raya, Safira duduk di ruang tamu rumah kosnya, menatap ke luar
jendela, ketika ponselnya kembali bergetar. Sebuah panggilan dari Ibu. Safira menarik
napas dalam-dalam sebelum akhirnya mengangkat telepon itu. Suara Ibu terdengar lembut,
seolah tidak ada jarak di antara mereka meskipun sudah lama tidak berjumpa.
“Assalamu’alaikum, Nak,” suara Ibu terdengar begitu hangat, seolah menyentuh hatinya
yang sudah lama terluka.
“Wa’alaikumsalam, Bu,” jawabnya pelan, mencoba menahan gejolak yang ada di dadanya.
Ibu tidak segera berbicara. Ada jeda panjang yang terasa begitu berat di telinga Safira. Ia
tahu betul Ibu tidak pernah mengeluh atau meminta banyak, tapi setiap percakapan dengan
Ibu selalu meninggalkan kesan mendalam.
“Masih sibuk ya, Nak? Lebaran sebentar lagi. Ibu kangen.”
Safira menelan ludahnya, berusaha menahan suara yang hampir pecah di tenggorokannya.
Ada begitu banyak kata yang ingin ia ucapkan, namun tidak ada yang keluar.
“Iya, Bu. Kerjaan masih banyak.” Ia berkata pelan, namun kata-kata itu terasa kosong.
Ibu terdiam beberapa saat, dan kemudian terdengar suaranya yang lembut namun penuh
harap.
“Ibu nggak minta banyak, Nak. Ibu hanya ingin kamu pulang, berkumpul lagi seperti dulu.
Lebaran itu bukan hanya tentang makanan enak, atau baju baru. Itu tentang keluarga,
tentang kebersamaan. Ibu hanya ingin melihat kamu di rumah.”
Safira menutup mata, merasakan seolah seluruh tubuhnya terhimpit oleh perasaan bersalah
yang tak pernah ia ungkapkan. Ia ingin sekali memeluk Ibu, berkata bahwa ia pulang,
namun sesuatu di dalam dirinya menahan langkah itu. Ada luka yang belum sembuh, ada
kenangan yang terlalu berat untuk dihadapi.
“Ibu, aku… aku nggak bisa pulang tahun ini. Maafkan Mba, Bu.”
Suara Ibu di seberang telepon terdengar semakin lirih.
“Ibu hanya ingin kamu tahu, Nak. Ibu kangen. Rena juga.”
Safira tidak bisa lagi berkata apa-apa. Ia hanya menutup telepon itu dengan perasaan
penuh sesak.
Keputusan yang Sulit
Tiga hari sebelum Lebaran, Safira memutuskan untuk pulang. Entah mengapa, meskipun
perasaan yang membelitnya semakin berat, ada dorongan yang tak bisa ia ingkari. Ia
membeli tiket kereta yang hanya tersedia pada waktu-waktu terakhir, mencoba untuk tidak
berpikir panjang lagi. Terkadang, dalam hidup, keputusan terbaik datang ketika kita tidak lagi
memikirkannya.
Perjalanan dengan kereta terasa panjang, meskipun sebenarnya hanya beberapa jam saja.
Safira memandangi pemandangan yang berubah dari gedung-gedung tinggi Jakarta menjadi
sawah-sawah hijau dan ladang yang terbentang luas. Di sepanjang perjalanan, ia melihat
berbagai macam orang yang juga pulang kampung, berkumpul dengan keluarga mereka.
Setiap orang membawa cerita mereka masing-masing, dan Safira merasa begitu asing
meskipun berada di tengah keramaian.
Ketika kereta akhirnya sampai di Stasiun Semarang, Safira merasa jantungnya berdegup
lebih kencang. Ada perasaan cemas, juga rasa haru yang mulai menghimpit. Ia berjalan
keluar dari stasiun dan menuju taksi yang akan membawanya pulang. Rumah yang sudah
lama tak ia singgahi kini terasa asing, namun juga begitu akrab.
Rumah itu tidak berubah banyak. Masih seperti yang ia ingat, meski terlihat lebih kecil.
Pagar yang dulu selalu terbuka ketika mereka berkumpul bersama, kini tampak terkunci.
Namun, begitu ia membuka pagar itu dan melangkah masuk, sosok yang sangat ia rindukan
berdiri di pintu. Ibu dengan wajah penuh harapan.
Rena, yang kini sudah beranjak dewasa, berlari menyambutnya.
“Mba! Akhirnya pulang juga!” seru Rena sambil memeluknya erat.
Safira tertegun sejenak, lalu memeluk Rena, merasakan kehangatan yang selama ini hilang.
Ia merasa seperti pulang ke rumah, ke tempat yang seharusnya ia cintai.
Ibu memandang mereka dengan mata berkaca-kaca, tetapi senyum di wajahnya tak pernah
pudar.
“Ibu nggak tahu seberapa lama Ibu menunggu, Nak. Tapi, Alhamdulillah kamu pulang juga.”
Safira hanya bisa tersenyum, meskipun ada air mata yang menggenang di matanya. Ia
merasa seolah segala sesuatunya kembali lengkap. Rindu yang dulu ia pendam begitu
dalam akhirnya terobati.
Takbir yang Menyentuh Hati
Malam takbiran itu, rumah kecil mereka kembali terasa penuh dengan kehidupan. Ibu
memasak opor ayam, ketupat, sambel goreng hati, dan rendang dengan penuh cinta, seperti
dulu. Rena menata meja makan dengan semangat yang menular, dan Safiria duduk di meja
makan itu, merasakan kebahagiaan yang kini ia rasakan setelah bertahun-tahun merasakan
kehilangan. Takbir yang berkumandang dari masjid di dekat rumah terdengar begitu indah,
dan untuk pertama kalinya dalam tiga tahun, Safiria merasakan kedamaian yang ia cari.
Di tengah kebersamaan itu, di antara tawa dan air mata, Safira menyadari bahwa rindu yang
selama ini ia pendam tidak perlu dihindari. Kehilangan memang bagian dari hidup, namun
ada keindahan dalam kembali, dalam memaafkan, dan dalam mencintai lagi.
Malam itu, Safira menangis, bukan karena duka, tetapi karena kebahagiaan yang selama ini
hilang. Ia akhirnya pulang, kembali kepada keluarga yang selalu menunggu, meskipun ada
luka yang tak bisa dilupakan.
Momen pagi lebaran
Setelah salat subuh, Safira dan keluarganya duduk bersama di ruang
keluarga. Pakaian baru yang mereka kenakan, meskipun sederhana,
terasa istimewa. Ibu mengenakan kebaya putih yang sudah agak usang,
namun tetap tampak anggun. Rena, yang kali ini memilih baju berwarna
merah muda, terlihat cantik dengan senyumnya yang cerah. Dan Safira,
mengenakan baju dengan celana putih yang ia beli di Jakarta, merasa
sedikit kikuk, seperti tak sepenuhnya bisa menyesuaikan diri dengan
momen ini.
Namun, saat mereka saling bersalaman dan bermaafan, semua rasa cemas itu seakan
sirna. Ibu memeluk Safiria dengan erat, seolah-olah tidak ingin melepaskannya lagi. Rena
juga memeluknya dengan penuh kehangatan, memberikan sentuhan kasih yang begitu
tulus. Semua terasa begitu hangat dan nyata, meskipun ada kekosongan yang masih terasa
karena kepergian Ayah.
“Mba, terima kasih sudah pulang. Lebaran tahun ini jadi lebih berarti,” kata Rena dengan
suara yang hampir pecah karena bahagia.
Safira hanya tersenyum dan mengangguk, tidak bisa berkata banyak. Ia merasa air mata
hampir keluar, tetapi ia menahannya. Ada kebahagiaan yang luar biasa di dalam hatinya,
meskipun ada perasaan yang tak bisa ia ungkapkan begitu saja.
Ibu juga ikut tersenyum, meskipun matanya terlihat sedikit berkaca-kaca.
“Ibu cuma ingin kita berkumpul lagi. Ibu sudah lama menunggu momen seperti ini.”
Safira merasakan betapa dalamnya perasaan Ibu. Setiap kata yang keluar dari bibir Ibu
terasa menggetarkan hatinya, mengingatkan betapa besar pengorbanan dan kasih sayang
yang diberikan tanpa pamrih.
Pagi itu, meja makan dipenuhi dengan berbagai hidangan yang telah disiapkan Ibu dan
Rena. Ketupat, opor ayam, sambel goreng hati, rendang, dan lontong sayur. Safira duduk di
meja makan bersama mereka, merasakan kehangatan dari kebersamaan yang begitu lama
ia rindukan. Meski tanpa kehadiran Ayah, momen ini terasa begitu indah.
Mereka makan dengan lahap, bercanda, dan saling mengingat kenangan-kenangan masa
lalu. Ibu bercerita tentang bagaimana ia dulu memasak ketupat dengan penuh hati-hati,
sementara Safiria dan Rena membantunya di dapur. Ibu tertawa mengenang saat-saat
tersebut, meskipun di matanya ada kesedihan yang tak bisa disembunyikan.
Safiria merasakan kehangatan itu meresap dalam dirinya. Ia merasa seperti kembali
menemukan bagian dirinya yang sempat hilang. Meski perasaan rindu kepada Ayah masih
ada, ia menyadari bahwa keluarga yang masih ada di sekelilingnya adalah tempat yang
seharusnya ia cari dan perjuangkan.
Setelah makan siang, Safira, Ibu, dan Rena memutuskan untuk pergi ke makam Ayah.
Mereka berangkat dengan mobil keluarga, dan Safira merasa ada sesuatu yang
menenangkan dalam perjalanan itu. Tidak ada kata-kata yang terucap selama perjalanan,
hanya hening yang menyelimuti mereka.
Setibanya di makam, suasana begitu sunyi. Safira berjalan mendekati pusara Ayah,
memandang nisan yang sudah mulai berlumut, namun masih tampak jelas tulisan di
atasnya. Ia menundukkan kepala, menyentuh batu nisan itu dengan perlahan, merasakan
seolah Ayah masih ada di sisinya, meskipun tubuhnya sudah tak lagi ada di dunia ini.
Ibu berdiri di sampingnya, tak berkata apa-apa, hanya memandangi makam itu dengan mata
yang berkaca-kaca. Rena juga ikut terdiam, menundukkan kepala. Mereka semua
merasakan kehadiran Ayah dalam diam, dalam doanya yang tulus.
“Semoga Ayah tenang di sana. Kami merindukanmu.” Safira berbisik pelan, seolah berharap
Ayah bisa mendengar.
Rena menggenggam tangan Safira, dan Ibu menatap mereka dengan penuh kasih.
Setelah beberapa menit, mereka berdoa bersama, mendoakan Ayah agar diberikan tempat
terbaik di sisi-Nya. Meskipun hati Safira terasa berat, ia merasa lebih lega. Ada ketenangan
yang datang setelah ia berdoa, seolah ia bisa sedikit melepaskan beban yang selama ini ia
pikul sendirian.
Malam hari, setelah pulang dari makam, mereka kembali berkumpul di rumah. Suasana di
ruang keluarga terasa lebih hangat, lebih hidup. Takbir malam ini terdengar lebih indah dari
biasanya, dan meskipun Ayah tidak lagi ada di antara mereka, Safiria merasa
kehadiran-Nya masih ada di tengah mereka.
Ibu kembali memasak hidangan khas Lebaran, sementara Rena menyiapkan segala
sesuatunya untuk tamu yang akan datang. Safiraa duduk di ruang tamu, menikmati
kehangatan yang tercipta dari kebersamaan mereka. Ia merasa bahwa, meskipun tidak ada
lagi Ayah di sini, ia telah menemukan kembali kedamaian yang hilang.
Takbir yang berkumandang dari masjid semakin terasa mendalam. Di tengah kebersamaan
ini, Safira merasa ada sebuah pelajaran penting yang ia dapatkan. Kehilangan memang
membuatnya tersakiti, namun keluarga yang masih ada adalah alasan untuk tetap bertahan
dan menemukan kebahagiaan. Lebaran kali ini, meski tanpa Ayah, tetap penuh dengan
cinta dan kebahagiaan.
Safira akhirnya tersenyum. Meski ada luka yang tak akan pernah sepenuhnya sembuh, ia
tahu bahwa perjalanan pulangnya ini adalah langkah pertama menuju penyembuhan—untuk
dirinya dan untuk keluarganya.