Siang malam selisih berganti, hari demi hari ku lewati, bahkan tahun telah berganti tanpa ku sadari. Namun semua tak ada perubahan. Hidupku, keluargaku, dan cita-citaku , hingga sekarang belum ada titik terang.
Aku terlahir dari keluarga yang tak berkecukupan. Bapak dan Emakku telah Lanjut usia, aku juga memiliki seorang adik yang saat ini masih duduk di bangku SMP, sedangkan aku sendiri baru menginjak bangku SMA.
Hidup kami benar-benar menyedihkan. Tapi masih untung, Bapak yang sudah tua dan sakit-sakitan, yang seharusnya sudah berhenti dari pekerjaanya, kini masih bekerja keras dengan sisa-sisa tenaganya. Kadang aku sampai meneteskan air mata, ketika ku dapati sepulang sekolah sedang duduk bersandar dikursi kayu yang sudah mulai di makan rayap, sambil mengipasi tubuhnya dengan kipas kain yang sudah lusuh melepas penat setelah seharian penuh bekerja.
Seharusnya Bapak menikmati hari tuanya dengan tenang, Istirahat dari pekerjaan yang selama ini digelutinya, dan penggantinya, sebagai anak pertama akulah yang harus bekerja Untuk keluargaku, tapi bisa apa aku? sekolah saja belum kelar sehingga keadaan inilah yang membuat bapak harus bekerja tanpa memedulikan kondisi tubuh dan usia.
Sedangkan Emak, hanya bekerja sebagai buruh yang tak tentu hasilnya. Aku tak tega melihat kondisi orang tuaku, yang harus menanggung biaya sekolahku dan adikku, juga kebutuhan sehari-hari yang jumlahnya tak sedikit. Ingin sekali aku membantu mereka.
***
Sepulang sekolah aku mendapati Emak sedang menangis di kamar. “ Ada apa Mak, mengapa Emak nangis?”. Tanyaku sembari mendekatinya. “ Adikmu Mah, Emak betul-betul sedih, mengapa dia tak mau melihat keadaan Emak sama Bapak ?” Jawab Emak, sambil menyusut hidungnya dengan lengan bajunya. “ Ahmad minta uang lagi Mak?”. “ Iya Mah, kau tau sendiri bagaimana adikmu kalau sudah minta uang ”. Wajah Emak demikian sedih, sampai aku tak tega menatapnya. “ Emak yang sabar ya, kita berdoa saja semoga Ahmad mau mengerti keadaan Emak “.
Aku sangat memahami adikku emang sedikit bongol, kalau sudah minta uang harus dikasih, meskipun dia tau Emak lagi tak punya uang kalau tidak diberi pintu rumah kami yang sudah keropos akan menjadi sasaran amukan , bahkan masih sempat –sempatnya dia mengumpati Emak dengan kata-kata yang kasar, sebelum pergi meninggalkan amukanya. Pantas jika Emak menangis tiap kali adikku meminta uang,dan Beliau tidak dapat memberinya.
Seperti biasa tiap pagi sebelum berangkat sekolah, aku membantu menjualkan nasi buatan Emaku. Semua ini kulakukan untuk meringankan beban orang tua, juga aku tetap bisa terus sekolah karena jika hanya mengandalkan orang tua saja aku merasa kesulitan, Lagian kasian mereka, Kemudian sepulang sekolah aku masih mampir ke konveksi tetanggaku menjahit baju-baju untuk tambahan.
Pukul tujuh kurang lima menit ku kayuh sepeda tuaku dengan tergesa-gesa memasuki gerbang sekolahku yang tinggi menjulang. Mungkin gerbang ini sengaja dibuat dua kali lebih tinggi dari gerbang pada umumnya untuk menghindari anak – anak yang suka membolos.
Disinilah aku menuntut ilmu, sebuah sekolah negeri yang jauh dari kota. Tapi prestasi siswanya tidak kalah dengan sekolah yang dianggap orang –orang sebagai sekolah favorit di kota ini.
Ya, suatu kebanggaan bagiku, bisa bersekolah di SMA NEGERi 1 BANDAR yang letakanya jauh dari pusat kota.
Ku parkir sepeda tuaku di parkiran yang paling pojok karena seperti biasa sudah tidak kebagian tempat parkir yang notabennya kalah dengan teman-temanku yang membawa sepeda motor, Kemudian aku berlari menuju kelas, kalau sampai aku telat, aku pasti akan sangat malu, ketahuan tidak disiplin.
***
“ Amah, Kemarilah nak.” Panggil bapak ketika aku selesai mengerjakan tugas bahasa Indonesia.” Ada apa pak?” Tanyaku sambil duduk dikursi tua. Tak lama kemudian disusul adikku yang duduk disebelahku dengan muka selalu bersungut-sungut. Didepanku duduk Emak sama Bapak.
“ Amah, Ahmad, Begini, Bapakmu ini sudah tua, Bapak tidak ada apa-apanya dibanding tenaga mereka yang masih muda, jadi tidak salah jika pekerjan Bapak digantiakan sama yang masih muda.” Ujar Bapak sembari memandang aku kan adikku bergantian.
“ Bapakmu sudah tidak bekerja lagi Mah, Ahmad” sambung emak tertunduk.
“ Mulai minggu depan bapak tidak bekerja di sana lagi, jadi bapak minta maaf untuk sementara waktu Bapak tidak dapat membiayai sekolah kalian, tapi Bapak janji , Bapak akan mencari pekerjaan lain, supaya kalian tetap melanjutkan sekolah, sampai cita-cita kalian tercapai, dan kelak menjadi orang yang sukses, jangan seperti Bapak sama Emak, baca tulis saja masih kesulitan. “ imbuhanya.
“ Ahmad tidak mau sekolah lagi . “ Celutuk adiku tiba-tiba dengan ketus.
“ Bicara apa kau Mad ?” tegur Bapak.
“ katanya Bapak udah tak kerja lagi, kebetulan kalau Ahmad tidak sekolah kan lumayan bisa meringankan Bapak, lagian Ahmad sudah bosan sekolah.” Katanya santai.
“ Dengar Ahmad, sekalipun Bapak sama Emak tidak bisa makan , Bapak tidak peduli asalkan kalian semua tetap bisa sekolah.”
“ Tapi Ahmad sudah Bosan ! “.
“ Jangan pernah kau ulangi kata-kata itu lagi, Bapak tidak mau dengar. Bapak tak ingin anak-anak Bapak menjadi anak yang bodoh, tidak tau ilmu, tidak sekolah karena tidak ada biaya, apapun yang terjadi Bapak akan tetap menyekolahkan kalian, ingat jangan pernah mengecewakan Bapak . “ kata beliau tegas. Ahmad mendengus sebelum akhirnya pergi keluar rumah.
***
“ Minum dulu pak.” Ujarku menyerahkan segelas teh hangat padanya. Bapak mengangguk, tanganya yang sudah penuh keriput mengambil gelas yang ku sodorkan dan meneguknya, kemudian mengusap keringat yang menetes di dahinya, beliau tampak amat lelah. Sudah sebulan ini Bapak mencari pekerjaan , tapi tak kunjung dapat.
“ Maklumlah sudah tua, mana ada orang yang mau mempekerjakan orangtua macam
bapak, yang muda saja masih banyak.” Begitulah jawabnya setiap kali pulang tanpa ada hasil, tapi beliau tidak pernah menyerah, sehingga sia-sia saja aku mencegahnya. Sebenarnya aku ingin Bapak istirahat saja, tak perlu bekerja, tapi Bapak tidak mau , dan aku pun sadar, tanpa Bapak bekerja kami sekeluarga kesulitan.
***
Akhir-akhir ini perhatianku terpusat pada Ahmad adikku, tubuhnya yang semakin kurus dan matanya selalu merah dan saya seperti orang kurang tidur, ia jadi suka melamun dan menyendiri, uring-uringan tak jelas, dan mudah tersinggung.
Aku takut jika ia kenapa-napa, jika ia sakit tapi tak ada yang tau, ketika aku mendekati dan bertanya apakah dia baik-baik saja, dia malah marah-marah tak jelas . semoga saja ia tak kenapa-napa, tapi entah mengapa aku selalu gelisah memikirkanya.
Tapi kegelisahanku ini terlupakan, beberapa hari aku berangkat sekolah dengan jalan kaki, kebetulan jarak rumah ke sekolah tidak begitu jauh. Aku bingung , sepeda yang selama ini menemaniku tidak bisa mengantarkanku ke sekolah mungkin sepeda yang selalu aku gunakan sudah semaikin tua karena sepeda itu warisan dari Bapak.
Tak mungkin aku minta pada Bapak untuk memperbaikinya, dalam keadaan seperti ini. Sedangkan jika tak diperbaiki tentunya aku bisa terlambat sekolah. Aku bingung memikirkanya, dan tidak berani mengatakan pada Bapak maupun Emak.
Tapi entah dimana Bapak tau kebingunganku , keesokan harinya Bapak memberi tau bahwa sepeda sudah diperbaiki.
“ Bapak hanya bisa memperbaiki sepedamu, Mah, nanti kalau ada uang Bapak belikan sepeda yang masih bagus lagi. “ katanya, sambil melihat sepedanya yang sudah tua.
“ Bapak udah dapat pekerjaan ? “ tanyaku pelan .
“ iya Mah, Bapak jadi kuli bongkok di pasar”. Seketika itu pula tangisku meledak. Ya Tuhan, bagaimana mungkin Bapak jadi kuli Bongkok, bagaimana dengan encoknya, tulang-tulang tuanya, dan tenaga tuanya. Ku peluk Bapak dengan hati tak menentu.
“ Jangan menangis Mah, Bapak kan sudah bilang berkali-kali , jangan pernah menangis kelemahan kita, ketidakmampuan kita, Bapak paling tidak suka ada orang yang menangisi hal-hal yang tidak patut untuk ditangisi, apalagi kalau sampai menangisi kemiskinan kita, Bapak benci air mata, karena air mata itu hanya akan menandakan kalau kita lemah, sudah hapus air matamu !”.
“ Amah hanya tak tega melihat Bapak jadi kuli bongkok, Bapak kan sudah tua, gimana kalau encok Bapak kumat lagi.”
“ Bapak mau kerja Mah, tidak ada yang mau mempekerjakan orang tua, Bapak tak ingin cita-citamu kandas di tengah jalan hanya karena Bapak tidak bisa membiayai sekolahmu, buatlah Bapakmu ini bangga dengan kau menjadi orang sukses.”
“ Tapi biaya kuliah itu mahal pak, apa Amah bisa mewujudkannya.”
“ Ah kau ini, belum dijalan sudah bilang gitu , bukankah dulu kau selalu bilang, dimana ada kemauan, disitu pasti ada jalan, jadi untuk apa dirisaukan, meskipun sulit tapi jika kita sabar dan terus berusaha pasti dapat terselesaikan, percayalah Mah.”
“ Iya pak, Amah percaya.”
“ Bagus, jangan kau sia-siakan pengorbanan Bapakmu ini.”
***
“ kau benar-benar anak tak tau diuntung, sudah mengecewakan Bapak, di tambah pula harus menyusahkan orang tua, apa kau tak mikir, orangtuamu ini sudah susah !.” Tuding Bapak pada Adikku dengan nafas naik turun tak teratur.
Emak menangis di sebelah Bapak . Adikku benar-benar keterlaluan. Di keluarkan dari sekolah karena sering membolos, dan sekarang dituntut karena berantem melukai temanya. Bapak diharuskan membayar seluruh ongkos rumah sakit dan biaya obat, masih untung tidak di laporkan ke polisi. Tapi yang bersangkutan sama sekali tidak ada rasa bersalah, apalagi takut, ia masih tetap diam cuek, seolah tak peduli Bapak bicara apa.
Dalam keadaan seperti ini, ingin sekali aku melempar mukanya pakai sandal bakyak, biar sadar bahwa ia telah membuat masalah besar.
Aku benar-benar tak kuasa melihat kesedihan Emak sama Bapak, sampai aku tak mampu menahan air mata, tapi begitu melihat airmataku dan Emak , Bapak langsung melotot ke arah kami.
“ jangan menangisi adikmu, dia tak pantas untuk di tangisi !.”
***
Setelah pinjam sana, pinjam sini, akhirnya Bapak sanggup membayar separuh biaya rumah sakit orang yang di buat bapak belur oleh Ahmad. Kami semua bisa bernafas lega, meski hutang menumpuk sana-sini.
Hingga datang petaka baru seminggu kemudian. Dua orang polisi datang saat kami masih berkumpul di ruang tamu. Mengabarkan bahwa Ahmad ditangkap karena terbukti mencuri.
Emak jatuh lemas, aku tak dapat menahan air mataku, dan aku melihat Bapak berusaha mengimbangi tubuhnya agar tak jatuh, sambil menekan dadanya, dan Bapak menangis. Ya, Bapak menangis, satu hal yang selalu Bapak hindari, kini Bapak menangisi kelakuan putranya karena sudah tak kuat lagi.
Seketika itu aku sadar, Bapak sudah tak dapat menahan tubuhnya lagi, Bapak jatuh tak sadarkan diri.
***